Sabtu, 29 Juni 2013

the rektor..

 KATA ORANG SINGAPURA

Beberapa hari yang lalu, saya ke Surabaya. Di ruang tunggu bandara Soekarno-Hatta kebetulan saya duduk berdampingan dengan orang Singapura,
Mr. Tan (nama disamarkan). Dia tidak ke Surabaya tapi ke Jogjakarta untuk suatu perjalanan bisnis. Mulanya saya kira dia orang Indonesia juga, karena khan tidak ada beda fisik dan pakaian dengan kita. Saya menyapa duluan, permisi duduk di sebelahnya. Saya tanya mau kemana. Biasa orang Indonesia selalu tanya 'mau kemana'. Entah apakah sebagai pemybuka kata ataukah sebagai sekedar basa basi. Dia jawab mau ke Jogja. Dari logatnya saya tahu dia pasti bukan orang Indonesia. Saya tanya lagi dari mana? (Orang Indonesia memang banyak bertanya. Mungkin itu ya yang membuat kita pintar-pintar, termasuk pintar yang jelek-jelek juga).

Setelah berbasa basi seperti itu, kita menjadi tambah akrab. Apalagi waktu cukup untuk berbual-bual karena kedua pesawat ternyata di tunda keberangkatannya. Lebih-lebih lagi di kala dia tahu saya seorang dosen sebuah Universitas. Biasanya orang-orang akan menjadi lebih terbuka berbicara ketika bertemu dengan dosen. Lain kiranya jika bertemu dengan pejabat Negara selain dosen, mereka harus berhati-hati terutama jika bercakap soal penyimpangan yang terjadi di sektor pemerintahan. Jadilah kemudian saya sebagai tempat dia bercurhat berbagai keluhan. Saya sudah sering mendengar hal seperti itu karena umum sudah tahu. Misalnya dia cerita tentang buruknya pelayanan birokrasi di Imigrasi. Masak katanya orang asing, khususnya pebisnis masih harus pake pelicin untuk urusan yang satu ini. Masak katanya di pintu gerbang Negara, para tamu harus berurusan yang ujung-ujungnya duit baru bisa berlenggang masuk ke Negara ini. Itu sama analoginya para tamu masuk ke rumah kita dipersulit dengan macam-macam aturan yang tidak jelas.


Saya mendengarkan dengan cermat apa yang Mr. Tan sampaikan sepanjang kira-kira 45 menit menunggu keberangkatan pesawat itu. Dia bilang lagi bahwa Indonesia ini berpotensi sangat besar untuk menjadi Negara kaya raya di kawasan Asia. Apalah artinya Singapura dibandingkan dengan Indonesia, dalam segala hal. Kecuali, nah ini poinnya, masalah
mentality. Kekurangan Indonesia dibanding Singapura menurut dia adalah di bidang mentalitas. Dia terus terang mengatakan mengapa Indonesia di bidang satu ini tidak belajar saja dari Singapura. Tak usah malu-malulah katanya. Dulu juga mengurus Negara, demokrasi atau tidak, kami orang Singapura belajar dari Indonesia. Guru politik Lee Kuan Yew terus terang adalah Pak Harto, katanya. Saya kagum juga dengan pengetahuan orang ini. Usianya dengan saya kira-kira tidak terpaut jauh di bawah saya, bukan dosen, tapi bisa kasih kuliah yang begitu terang benderang kepada saya mengenai banyak hal tentang Indonesia, khususnya tentang mentalitas.

Terakhir bincang-bincang saya katakan kepadanya bahwa rektor saya (tidak saya kenalkan bahwa saya rektor) punya pemikiran yang mirip dengan dia. Bahkan dalam
visi Universitas kami dicantumkan mentalitas sebagai salah satu dari pilar pengembangan peradaban manusia Indonesia ke depan. Dia berdiri dan mengacungkan jempolnya sambil berkata: it’s excellent! Sambil menjabat tangan saya untuk berpisah dia katakan lagi, tolong sampaikan salam saya untuk rektor anda, bila-bila waktu saya nak jumpa. Bye… Lima menit berikutnya panggilan berangkat bagi pesawat saya ke Surabaya. Sampai jumpa (lagi) Mr. Tan ... thank you.

Salam,

fibimadakusuma.blogspot.com  
yainisajalah.blogspot.com 
annurrahma.blogspot.com 
lailafarikha.blogspot.com 
juniele.blogspot.com  
zanuardwipranataputra.blogspot.com 
www.missnimas.blogspot.com 
learningenglishhappily.blogspot.com 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar