Sabtu, 29 Juni 2013

Mewujudkan Pendidikan Karakter Yang Berkualitas

Dalam tataran teori, pendidikan karakter sangat menjanjikan bagi menjawab persoalan pendidikan di Indonesia. Namun dalam tataran praktik, seringkali terjadi bias dalam penerapannya. Tetapi sebagai sebuah upaya, pendidikan karakter haruslah sebuah program yang terukur pencapaiannya. Bicara mengenai pengukuran artinya harus ada alat ukurnya, kalo alat ukur pendidikan matematika jelas, kasih soal ujian jika nilainya diatas strandard kelulusan artinya dia bisa. Nah, bagaimana dengan pendidikan karakter?
Jika diberi soal mengenai pendidikan karakter maka soal tersebut tidak benar-benar mengukur keadaan sebenarnya. Misalnya, jika anda bertemu orang yang tersesat ditengah jalan dan tidak memiliki uang untuk melanjutkan perjalananya apa yang anda lakukan? Untuk hasil nilai ujian yang baik maka jawabannya adalah menolong orang tersebut, entah memberikan uang ataupun mengantarnya ke tujuannya. Pertanyaan saya, apabila hal ini benar-benar terjadi apakah akan terjadi seperti teorinya? Seperti jawaban ujian? Lalu apa alat ukur pendidikan karakter? Observasi atau pengamatan yang disertai dengan indikator perilaku yang dikehendaki. Misalnya, mengamati seorang siswa di kelas selama pelajaran tertentu, tentunya siswa tersebut tidak tahu saat dia sedang di observasi. Nah, kita dapat menentukan indikator jika dia memiliki perilaku yang baik saat guru menjelaskan, anggaplah mendengarkan dengan seksama, tidak ribut dan adanya catatan yang lengkap. Mudah bukan? Dan ini harus dibandingkan dengan beberapa situasi, bukan hanya didalam kelas saja. Ada banyak cara untuk mengukur hal ini, gunakan kreativitas anda serta kerendahan hati untuk belajar lebih maksimal agar pengukuran ini lebih sempurna.

Membentuk siswa yang berkarakter bukan suatu upaya mudah dan cepat. Hal tersebut memerlukan upaya terus menerus dan refleksi mendalam untuk membuat rentetan Moral Choice (keputusan moral) yang harus ditindaklanjuti dengan aksi nyata, sehingga menjadi hal yang praktis dan reflektif. Diperlukan sejumlah waktu untuk membuat semua itu menjadi custom (kebiasaan) dan membentuk watak atau tabiat seseorang. Menurut Helen Keller (manusia buta-tuli pertama yang lulus cum laude dari Radcliffe College di tahun 1904) “Character cannot be develop in ease and quite. Only through experience of trial and suffering can the soul be strengthened, vision cleared, ambition inspired, and success achieved”.
Selain itu pencanangan pendidikan karakter tentunya dimaksudkan untuk menjadi salah satu jawaban terhadap beragam persoalan bangsa yang saat ini banyak dilihat, didengar dan dirasakan, yang mana banyak persoalan muncul yang di indentifikasi bersumber dari gagalnya pendidikan dalam menyuntikkan nilai-nilai moral terhadap peserta didiknya. Hal ini tentunya sangat tepat, karena tujuan pendidikan bukan hanya melahirkan insan yang cerdas, namun juga menciptakan insan yang berkarakter kuat. Seperti yang dikatakan Dr. Martin Luther King, yakni “intelligence plus character that is the goal of true education” (kecerdasan yang berkarakter adalah tujuan akhir pendidikan yang sebenarnya).
Banyak hal yang dapat dilakukan untuk merealisasikan pendidikan karakter di sekolah. Konsep karakter tidak cukup dijadikan sebagai suatu poin dalam silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran di sekolah, namun harus lebih dari itu, dijalankan dan dipraktekan. Mulailah dengan belajar taat dengan peraturan sekolah, dan tegakkan itu secara disiplin. Sekolah harus menjadikan pendidikan karakter sebagai sebuah tatanan nilai yang berkembang dengan baik di sekolah yang diwujudkan dalam contoh dan seruan nyata yang dipertontonkan oleh tenaga pendidik dan kependidikan di sekolah dalam keseharian kegiatan di sekolah.

Di sisi lain, pendidikan karakter merupakan upaya yang harus melibatkan semua pemangku kepentingan dalam pendidikan, baik pihak keluarga, sekolah dan lingkungan sekolah dan juga masyarakat luas. Oleh karena itu, langkah awal yang perlu dilakukan adalah membangun kembali kemitraan dan jejaring pendidikan yang kelihatannya mulai terputus diantara ketiga stakeholders terdekat dalam lingkungan sekolah yaitu guru, keluarga dan masyarakat. Pembentukan dan pendidikan karakter tidak akan berhasil selama antara stakeholder lingkungan pendidikan tidak ada kesinambungan dan keharmonisan. Dengan demikian, rumah tangga dan keluarga sebagai lingkungan pembentukan dan pendidikan karakter pertama dan utama harus lebih diberdayakan yang kemudian didukung oleh lingkungan dan kondisi pembelajaran di sekolah yang memperkuat siklus pembentukan tersebut. Di samping itu tidak kalah pentingnya pendidikan di masyarakat. Lingkungan masyarakat juga sangat mempengaruhi terhadap karakter dan watak seseorang. Lingkungan masyarakat luas sangat mempengaruhi terhadap keberhasilan penanaman nilai-nilai etika, estetika untuk pembentukan karakter. Menurut Qurais Shihab (1996; 321), situasi kemasyarakatan dengan sistem nilai yang dianutnya, mempengaruhi sikap dan cara pandang masyarakat secara keseluruhan. Jika sistem nilai dan pandangan mereka terbatas pada kini dan disini, maka upaya dan ambisinya terbatas pada hal yang sama.
Ingin mewujudkan pendidikan karakter yang berkualitas? Maka kuncinya sudah dipaparkan diatas, ada alat ukur yang benar sehingga ada evaluasi dan tahu apa yang harus diperbaiki, adanya tiga komponen penting (guru, keluarga dan masyarakat) dalam upaya merelaisasikan pendidikan karakter berlangsung secara nyata bukan hanya wacana saja tanpa aksi. Ingat, Pendidikan karakter melalui sekolah, tidak semata-mata pembelajaran pengetahuan semata, tetapi lebih dari itu, yaitu penanaman moral, nilai-nilai etika, estetika, budi pekerti yang luhur. Dan yang terpenting adalah praktekan setelah informasi tersebut di berikan dan lakukan dengan disiplin oleh setiap elemen sekolah.

Salam

the rektor..

 KATA ORANG SINGAPURA

Beberapa hari yang lalu, saya ke Surabaya. Di ruang tunggu bandara Soekarno-Hatta kebetulan saya duduk berdampingan dengan orang Singapura,
Mr. Tan (nama disamarkan). Dia tidak ke Surabaya tapi ke Jogjakarta untuk suatu perjalanan bisnis. Mulanya saya kira dia orang Indonesia juga, karena khan tidak ada beda fisik dan pakaian dengan kita. Saya menyapa duluan, permisi duduk di sebelahnya. Saya tanya mau kemana. Biasa orang Indonesia selalu tanya 'mau kemana'. Entah apakah sebagai pemybuka kata ataukah sebagai sekedar basa basi. Dia jawab mau ke Jogja. Dari logatnya saya tahu dia pasti bukan orang Indonesia. Saya tanya lagi dari mana? (Orang Indonesia memang banyak bertanya. Mungkin itu ya yang membuat kita pintar-pintar, termasuk pintar yang jelek-jelek juga).

Setelah berbasa basi seperti itu, kita menjadi tambah akrab. Apalagi waktu cukup untuk berbual-bual karena kedua pesawat ternyata di tunda keberangkatannya. Lebih-lebih lagi di kala dia tahu saya seorang dosen sebuah Universitas. Biasanya orang-orang akan menjadi lebih terbuka berbicara ketika bertemu dengan dosen. Lain kiranya jika bertemu dengan pejabat Negara selain dosen, mereka harus berhati-hati terutama jika bercakap soal penyimpangan yang terjadi di sektor pemerintahan. Jadilah kemudian saya sebagai tempat dia bercurhat berbagai keluhan. Saya sudah sering mendengar hal seperti itu karena umum sudah tahu. Misalnya dia cerita tentang buruknya pelayanan birokrasi di Imigrasi. Masak katanya orang asing, khususnya pebisnis masih harus pake pelicin untuk urusan yang satu ini. Masak katanya di pintu gerbang Negara, para tamu harus berurusan yang ujung-ujungnya duit baru bisa berlenggang masuk ke Negara ini. Itu sama analoginya para tamu masuk ke rumah kita dipersulit dengan macam-macam aturan yang tidak jelas.


Saya mendengarkan dengan cermat apa yang Mr. Tan sampaikan sepanjang kira-kira 45 menit menunggu keberangkatan pesawat itu. Dia bilang lagi bahwa Indonesia ini berpotensi sangat besar untuk menjadi Negara kaya raya di kawasan Asia. Apalah artinya Singapura dibandingkan dengan Indonesia, dalam segala hal. Kecuali, nah ini poinnya, masalah
mentality. Kekurangan Indonesia dibanding Singapura menurut dia adalah di bidang mentalitas. Dia terus terang mengatakan mengapa Indonesia di bidang satu ini tidak belajar saja dari Singapura. Tak usah malu-malulah katanya. Dulu juga mengurus Negara, demokrasi atau tidak, kami orang Singapura belajar dari Indonesia. Guru politik Lee Kuan Yew terus terang adalah Pak Harto, katanya. Saya kagum juga dengan pengetahuan orang ini. Usianya dengan saya kira-kira tidak terpaut jauh di bawah saya, bukan dosen, tapi bisa kasih kuliah yang begitu terang benderang kepada saya mengenai banyak hal tentang Indonesia, khususnya tentang mentalitas.

Terakhir bincang-bincang saya katakan kepadanya bahwa rektor saya (tidak saya kenalkan bahwa saya rektor) punya pemikiran yang mirip dengan dia. Bahkan dalam
visi Universitas kami dicantumkan mentalitas sebagai salah satu dari pilar pengembangan peradaban manusia Indonesia ke depan. Dia berdiri dan mengacungkan jempolnya sambil berkata: it’s excellent! Sambil menjabat tangan saya untuk berpisah dia katakan lagi, tolong sampaikan salam saya untuk rektor anda, bila-bila waktu saya nak jumpa. Bye… Lima menit berikutnya panggilan berangkat bagi pesawat saya ke Surabaya. Sampai jumpa (lagi) Mr. Tan ... thank you.

Salam,

fibimadakusuma.blogspot.com  
yainisajalah.blogspot.com 
annurrahma.blogspot.com 
lailafarikha.blogspot.com 
juniele.blogspot.com  
zanuardwipranataputra.blogspot.com 
www.missnimas.blogspot.com 
learningenglishhappily.blogspot.com 

MAHASISWA BARU DI UNIVERSITAS

MAHASISWA BARU DI UNIVERSITAS NEGERI BARU

Sebentar lagi seluruh perguruan tinggi di Indonesia menerima mahasiswa baru. Berdasarkan perkiraan dari kira-kira 2380 jumlah perguruan tinggi (termasuk 86 perguruan tinggi negeri di bawah naungan Depdiknas dan 54 perguruan tinggi di bawah Depag) dan sekitar 2240 perguruan tinggi swasta, akan menerima lebih daripada satu juta mahasiswa baru. Angka ini masuk akal dan mungkin minimal, karena UBB sendiri tahun ini menerima mahasiswa baru mendekati seribu orang. Belum terhitung jumlah mahasiswa baru yang terdaftar di sekolah-sekolah tinggi dan akademi yang berada di bawah naungan instansi tertentu pemerintah. Ini jumlah yang sangat besar, padahal tingkat APK (Angka Partisipasi Kasar) perguruan tinggi rata-rata nasional hanya 12-13%. Artinya, jumlah remaja usia kuliah (18-23 tahun) yang bisa mengenal bangku kuliah hanya sebesar 12-13%. Sisanya (88-87%) setelah lulus SMA atau bahkan tidak mencapai tingkatan itu, tidak sampai masuk ke perguruan tinggi.

APK perguruan tinggi di Babel masih sangat rendah. Perhitungan sementara hanya mencapai tidak lebih daripada 5%, jauh di bawah APK nasional. Oleh sebab itu masalah aksesibilitas ini, yakni kemampuan menyerap calon mahasiswa menjadi sangat penting di Babel. Didirikannya UBB adalah juga berdasarkan argumentasi tersebut. Jumlah program studi harus diperbanyak untuk mampu meningkatkan daya serap. Implikasinya, beban ruang kelas semakin berat, jumlah dosen tidak sepadan dengan jumlah mahasiswa. Semuanya itu bermakna penambahan gedung, dosen dan infrastruktur lainnya adalah suatu keharusan dalam waktu dekat ini. Tahun 2009 ini UBB menerima mahasiswa baru sebanyak 863 orang yang tersebar di 12 program studi yang tersedia. Jumlah ini yang tertinggi atau maksimal yang bisa ditampung di UBB, meskipun jumlah pendaftar mencapai di atas 1200 calon mahasiswa. Angka pendaftaran ini paling tinggi dalam 3 tahun terakhir dan meningkat signifikan dari tahun sebelumnya. Hal ini kemungkinan disebabkan karena status UBB secara de facto telah menjadi perguruan tinggi negeri. Tahun depan diramalkan para pendaftar akan bertambah lagi karena ujian masuk ke UBB telah berada di dalam jaringan nasional perguruan tinggi negeri seluruh Indonesia.

Adalah sangat penting untuk memaknai menjadi mahasiswa baru dari suatu universitas negeri seperti UBB ini. Dalam tulisan kolom sebelumnya sudah saya jelaskan apa beda universitas negeri dan universitas BHPP. Ternyata dalam status keduanya tidak berbeda, yakni sama-sama menjadi perguruan tinggi milik pemerintah pusat. Perbedaannya hanya pada sistem pengelolaan atau tata kelola. Di universitas negeri yang konvensional, sistem pengelolaan masih bersifat sentralistis, sedangkan di universitas BHPP yang modern, sistem pengelolaan menganut asas desentralisasi dan otonomi kampus. Pada sistem BHPP, universitas akan lebih leluasa bermanuver untuk mengembangkan institusinya, tanpa 'kekangan' yang berlebihan dari pemerintah pusat. Walaupun demikian, esensi bahwa kita berada di dalam suatu institusi pemerintah pusat haruslah berpegang pada prinsip untuk menegakkan kewibawaan negara melalui kewibawaan pemerintah.

Mahasiswa UBB sebagai mahasiswa universitas milik pemerintah pusat, tentu dituntut lebih daripada mahasiswa universitas yang bukan milik pemerintah. Bukan hanya lebih dalam hal kualitas, yakni lulusan UBB diakui sebagai lebih bermutu dibandingkan yang lain-lain, tetapi juga menjaga sikap dan perilaku yang unggul dalam rangka menjaga dan menegakkan kewibawaan negara. Mahasiswa UBB harus menjadi panutan mahasiswa perguruan tinggi lain, minimal yang ada di kawasan Bangka Belitung. Mahasiswa UBB harus menjadi benchmarking bagi mahasiswa lain. Mulai dari ketertiban belajar mengajarnya, disiplin sampai dengan sikap santun dan sikap sehari-hari dari seseorang yang terpelajar. Keunggulan itu harus terpancar dari diri seseorang mahasiswa UBB, sehingga ia pantas dan layak disebut sebagai mahasiswa universitas negeri atau BHPP. Selamat datang para mahasiswa baru UBB, selamat bergabung menjadi mahasiswa yang unggul membangun peradaban. Be excellent!

Salam
fibimadakusuma.blogspot.com
yainisajalah.blogspot.com
annurrahma.blogspot.com
hestyblogq.blogspot.com
lailafarikha.blogspot.com
juniele.blogspot.com
zanuardwipranataputra.blogspot.com
missnimas.blogspot.com
learningenglishhappily.blogspot.com

Selasa, 11 Juni 2013



THE EFFECT OF USING ENVIRONMENTAL TECHNIQUE TO THE STUDENTS’’ ACHIEVEMENT IN LEARNING VOCABULARY

This research is intended to analyze the effect of using environmental technique in teaching vocabulary to the students of SDN 014673 Prapat Janji, Kec. Buntu Pane Kab. Asahan. The method of this research applied is descriptive quantitative method. The population of the research is the fourth year students of SDN 014673 Prapat Janji, Kec. Buntu Pane Kab. Asahan. Which consist of 42. The number of the population of the research, are 42 persons. In this research, all the number of population that is 42 persons taken all as a sample. This sample will teach by using environmental technique and by not using environmental technique to compare the better technique for the students’ achievement. The instrument of the research is the objective test. The technique of this research in describing the data is descriptive quantitative technique. Descriptive quantitative technique applied to find out the effect of using environmental technique to the students’ achievement in learning vocabulary. The data were acquired by administrating an objective test which consisted 10 items. The test was a teacher-made test. The result of this thesis is. Based on the t-table, with Degree of freedom/df 82 (n1+n2 - 2 = 42+42-2=82) at t-critical 0.05, it is obtain 2.00. if we compared the value of to and t1, so it shown that the value of t-observed is Lower than the value of t-table (to=2.30> t1=2.00) it mean that the Ha is rejected and Ho is accepted So, there is a no significant Effect of using Environmental technique in teaching Vocabulary

Sabtu, 14 April 2012


THE RIGHT MAN FOR THE JOB
         Some companies consider that their management trainee schemes are useful as a bait to catch able recruits. These schemes do give graduate who is unused to industry a chance to look round before commiting himself to particular job. But such schemes run into difficulty that graduated of any worth quickly get bored going from department to department without doing the job.
University education, say some business men especially if they own firms in declining industries spoils young men, destroy their simple enthusiasm for, say, the product, and makes them too sophisticated to be loyal to the firm.
          Among the traits mentioned as essential for the young man applying for his first job in an industria’empire are: drive; decisiveness; determinations; push; analytical ability; an inquiring mind; ability to get on with colleagues – this last is highly prized by business men – the dependable combinable type”,as Andrew Carnegie put it. Above all they want “good mixer”; and, of course, drive. These are the alpha an omega of desirable traits for entering management, if  not for going into business. There is wide agreement that academic distinction is less  important than personality